Perang Menimbulkan Cinta

Aku memakan banyak sekali jenis makanan dan buah-buahan, tidak lupa untuk menyimpan beberapa makanan di tas kecilku.

Setelah kami selesai memakannya, aku, kakakku dan Yuk berkeliling melihat-lihat rumah itu ‘di zaman peperangan seperti ini, masih ada saja orang yang hidup enak seperti ini, “ah aku sangat iri”, gumamku dalam hati.

Setelah bersapa salam dan berterima kasih pada mereka, kami menuju perjalanan lagi, sungguh pengalaman yang cukup menyenangkan bagi ku dan kakakku. “Jangan melirik ke belakang, cukup lihat kedepan saja” perintah pamanku tiba-tiba. Aku menurut, namun kakakku melirik ke belakang, “Lohhh r-r-rumahnya hilangg Mienn” ucap kakakku kaget sambil lari melewati pamanku.

- Iklan -

Karena aku tidak berani melihat ke belakang, aku mengikuti kakakku “kakak.. Tunggu akuu.”

Beberapa Minggu setelah mendapat makan dari ‘Rumah Hilang’ itu. Aku jatuh sakit, sehingga mengharuskan kita untuk mencari tumpangan karantina ku. Aku dan kakakku di tempatkan Yuk di sebuah pedesaan, rumahnya serba reot, saat hujan turun, kita harus berkumpul di satu titik memegangi tiang pondasi rumah itu sambal menahan dinginnya angin yang melewati lubang-lubang atap.

Pakdhe Yuk, sang pekerja keras selalu membawakan kita beberapa roti dari hasil jualannya, dan tidak lupa kami memberikannya untuk bibi berhati berlian itu, untuk tanda terimakasih karena telah menampung aku, kakak, dan Yuk.

- Iklan -

Siang yang sejuk membuat ku ingin tertidur, saat aku memejamkan mata, tentara Belanda membuka pintu rumah bibi dengan kasar, sehingga butuh beberapa minggu untuk membenarkannya lagi, yaa itu yang di katakan bibi setelah belanda itu pergi.

Saat tentara itu masuk, aku ketakutan, badannya cukup besar, dia membawa senjata, tangannya penuh dengan darah, ia juga memiliki kumis berbentuk sapu disana, ‘si ijuk’ kami menyebutnya seperti itu… Aku fikir saat itu juga kami akan habis di tembak, kakakku sudah bersujud di bawah kasur ketakutan, aku di atasnya hanya pasrah sambil melihat tentara itu.

“Sakit ya?” tanya tentara itu dengan accentnya sambil mengangguk-angguk melihat sekitar, menemukan apa yang ia cari. Kemudian mencuci tangannya dengan bak yang telah bibi sediakan untuk mandi ku. “Seenaknya sekali dia.”

- Iklan -

“Lihatlah pintu bibi…” gumamku dalam hati. Kemudian tentara itu kembali keluar. Dan disitu aku baru mengerti, sepertinya dia tidak mengicar rakyat, hanya orang-orang pnting yang mereka perangi, fikir ku kala itu.

Beberapa hari setelah itu, tubuh ku sangat membaik, bibi merawatku dengan penuh hati, setelah aku pulih, kami memutuskan untuk memulai perjalanan lagi, tapi bibi menolaknya.

“Biarlah kalian tinggal disini, sungguh aku tidak memiliki keluarga lagi selain kalian,” mohonnya.

Ini kali pertamanya aku melihat sosok ibu sesungguhnya, aku tidak pernah merasakan hal ini selama 5 tahun hidupku.. aku memeluknya, terharu.

“Tidak bisa, ada hal penting yang harus ku lakukan di Jogja, Mien dan Ban tidak akan berpisah bersama saya, oleh karena itu, mohon untuk mengerti,” ucap Yuk tegas, terdapat raut sedih dimukanya, karena Yuk pada saat itu menunduk.

Mendengar ucapan itu, bibi sangat sedih, namun tidak banyak yang bisa ia lakukan. Bibi terpaksa merelakan kita, tidak lupa bibi baik hati itu memberi kami beberapa bekal “berhati-hatilah, jangan lupa untuk berhenti dan meminta bantuan pada sesama rakyat,” kata bibi sambil melambaikan tangannya.

- Iklan -

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU