Rintik Hujan Penyesalan

“Rio…, kenapa kau tak bilang hiks.” Dimas mulai menangis lagi melihatku yang sudah sekarat ini.

“Belum bilang apa?” jawabku dengan sedikit menahan rasa sakit yang muli menajalar kembali kepadaku.

“Kenapa kamu tidak bilang kalau kamu sakit LEUKEMIA?” Dimas menunduk dan menangis keras itu membuatku terkejut. Lalu aku mengalihkan pandangan ke Devin sambil menahan rasa sakit ini dan menatap tajam. Tetapi yang ditatap hanya menunduk.

- Iklan -

“Ugh.” sudah gak kuat aku menahan rasa sakit ini. Sekali sudah ada yang mengetahui penyakitku maka ini akah berakhir.

“Akh.. kak Devin sak-sakit.” aku mengatakannya walaupun tergagap setelah beberapa menit aku tahan.

“Rio. Hey ayo bertahan jangan tutup matamu dulu dulu.” Devin mulai panik dan segera mengambil peralatannya dan bergegas menuju ke kamarku.

- Iklan -

Namun… semua sudah terlambat. Aku mulai menghembuskan nafas terakhirku dan seketika gelap mulai menguasai penglihatanku.

`Dimas POV`

“Ugh.” Rio mulai merasakan sakit dari penyakitnya itu. Aku dan Devin masih belum terlalu terdengar apa yang Rio katakan namun,

- Iklan -

“Akh.. kak Devin sak-sakit.” Rio mengatakan secara tergagap dimana semuanya sakit.

Seketika aku dan Devin panik.

“Yak, Rio. Hey ayo bertahan jangan tutup matamu dulu.” Devin mulai panik dan segera mengambil peralatannya dan bergegas menuju ke kamarku.

Devin segera mengambil peralatannya dan aku terus menggenggam tangannya yang mulai dingin itu.Tetapi semua terlambat. Ketika Devin telah sampai di kamar Rio, Rio sudah menghembuskan nafas terakhirnya dan menutup matanya. Di saat itu juga tangisku pecah.

Aku segera menggenggam tangannya yang sudah sedingin es itu. Lalu aku melihat ke jendela. Salju mulai turun. Lalu Devin mengatakan kematian Rio dihadapanku.

“Ario Denandra Adinawa, meninggal pada hari Minggu 25 Desember 2045 jam 12:00 siang tepat pada musim dingin.” Devin meneteskan air mata dan aku juga meneteskannya. Devin menangis dalam diam. Namun aku menangis terisak karena aku sudah kehilangan salah satu malaikat tak bersayapku.

“aku pulang ya.” aku meninggalkan Rio yang sudah terbaring tanpa adanya kehidupan dan Devin yang hanya menatap Rio tanpa mengalihkan pandangannya dengan tatapan sendu.

*Di rumah*

“Hiks hiks.” aku masih menangis karena apa yang terjadi.

“Dimas. Kamu kenapa?” Kata Andra lembut dan menampakkan ekspresi khawatirnya. “Rio…” aku menggantungkan satu kata yaitu adikku.

“Huh, kamu kenapa sih peduli banget sama adikmu yang pembunuh itu.” kata Niko yang diberi anggukan oleh Andra.

“RIO MENINGGAL KARENA PENYAKIT LEUKEMIA!” aku sudah tak tahan jadi aku mengeluarkan semuanya.

“A-apa? Hey kamu gak mungkin bohongkan?” kata Andra dan Niko seraya menahan tangisnya yang sudah di u.

“UNTUK APA AKU BERBOHONG JIKA KALIAN TIDAK LIHAT SENDIRI DI

RUMAH SAKIT KITA HAH?!” aku sudah muak dengan semua ini serta sudah kuduga tangis mereka pecah dan segera menuju ke rumah sakit.

*Keesokan harinya*

Pemakaman adik bungsu kami dilakukan di sebelah makam kedua orang tua kami. Semua sangat sedih bahkan kami yang sudah sekitar 7 tahun tidak memberinya kasih sayang sehingga kami paling sedih serta menyesal di sini.

Kak Andra sempat pingsan dan Kak Niko juga sempat terjatuh dan kami hanya bisa menatap makam adik kami yang bak malaikat itu. Mengapa kami tidak menyadarinya? Apakah karena ego kami yang terlalu kuat sehingga kami tidak peduli dengannya. Dan di saat itu juga rintik hujan turun membasahi kami semua seperti turut berduka dengan kami dan merasakan penyesalan kami.

“…Maafkan aku Rio, aku adalah kakak terburuk di dunia ini. Maafkan aku maafkan aku.” pidatoku telah selesai dan kami mulai meninggalkan pemakaman adik kesayangan kami yang sudah meninggalkan kami untuk selamanya.

TAMAT


Penulis : Mutiara Azkiya Deristianti


- Iklan -

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU