Cak Ladrak

Dan tentu saja hal itu tidak terjadi hanya sekali atau dua kali, tetapi sudah berulangkali. Hingga kami pun menjadi terbiasa, apabila mendengar isak tangis kebahagiaan yang tengah menyelimuti salah satu rumah warga yang sedang dirundung kesusahan.

***

Tidak ada yang tahu pasti asal-usul Cak Ladrak. Pun juga dengan para sesepuh di desa kami. Mereka hanya mengatakan, bahwa dulunya Cak Ladrak adalah pendatang dari kota yang meminta izin untuk mendirikan gubuk di tengah hutan.

- Iklan -

Persis di samping pohon Dewandaru keramat yang kami yakini sebagai tempat bersemayam arwah para leluhur yang mendirikan desa. Padahal, tak seorang pun warga yang berani mendekati pohon tersebut karena takut mengganggu penghuninya, takut dapat mengundang celaka untuk seluruh keluarga.

Hingga suatu ketika muncul desas-desus, bahwasannya Cak Ladrak sedang menjalani ritual pesugihan laiknya kebanyakan orang-orang kota yang tiba-tiba mau susah payah menjangkau tempat terpencil seperti halnya desa kami. Bahkan sampai rela bermukim segala.

Tentu saja kami patut curiga dengan tujuannya memilih menetap di tempat paling keramat di desa.

- Iklan -

Apalagi kami juga tahu, bahwa Cak Ladrak tidak memiliki pekerjaan yang jelas. Kami tidak pernah melihatnya menggarap ladang ataupun berkebun di hutan seperti halnya warga lainnya.

Satu-satunya yang ia lakukan adalah berdiam di dalam hutan kemudian pergi ke kota setiap malam jumat tiba. Dan sepulangnya dari kota, ia pasti membawa aneka kebutuhan pangan yang dibutuhkan oleh warga yang membutuhkan.

”Hanya sedikit rezeki dari hasil menjual anak-anak saya,” selorohnya enteng sembari menepuk-nepuk tas kumal kesayangannya, begitu warga mulai terkesiap dengan pemberiannya.

- Iklan -

Lambat-laun kabar burung itu pun lenyap dengan sendirinya. Lantaran selama bertahun-tahun warga desa mulai merasakan manfaat dari kehadiran Cak Ladrak. Warga desa juga sudah tak ambil pusing perihal pesugihan ataupun sejenisnya. Tentunya urusan perut jauh lebih penting daripada hal-hal berbau klenik yang sama sekali tidak mengenyangkan.

***

Masih terngiang dalam ingatan kami, perihal kejadian yang terjadi sepuluh tahun yang lalu. Saat itu bulan belum begitu padam, tetapi kentungan di depan balai desa sudah menyalak berkali-kali membangunkan matahari.

Sebagaimana di daerah terpencil, bunyi kentungan adalah sebuah isyarat agar warga harus bergegas berkumpul, lantaran akan ada sesuatu hal penting yang akan disampaikan oleh Pak Kepala Desa.

- Iklan -

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU