Sonorous

Terdiam sebentar, Diomira jadi terpikirkan sesuatu. “Oh! Pasti kamu disuruh ibuku atau kakakku ‘kan? Dari tadi pagi mereka maksa aku buat ikut ke balai desa. Hahaha… sorry, aku malas ke sana. Lagi pula aku juga enggak punya gaun yang bagus. Jadi sekarang, silakan pergi. Pintunya ada di sana.” Diomira mengangkat tangannya dan menunjuk pintu depan rumah.

Laki-laki berjas hitam itu menepuk jidatnya. “Sumpah! Ini beneran! Ayo, kita ke balai desa buat lihat secara langsung, dengan begitu kamu bakalan percaya.”

“Maaf, Tuan Zachary Reiki, tapi saya belum mandi,” ucap Diomira dengan jujur.

- Iklan -

Reiki berteriak dengan frustasi. “Enggak usah mandi dulu, deh. Kamu tetap jelek walaupun sudah mandi.”

Diomira tersenyum kecut mendengarnya. Baiklah! Jika apa yang dikatakan laki-laki menyebalkan ini hanya kebohongan belaka, maka ia berjanji akan menenggelamkannya ke sungai pinggir kampung yang merupakan tempat hidup buaya.

***

- Iklan -

Malam mulai nampak saat mereka berjalan bersisian di jalan kampung yang sepi. Tadi, Diomira benar-benar menuruti perintah Reiki untuk tidak perlu mandi. Maka ia hanya memakai celana jeans dan sweater berwarna ungu. Sudah Diomira bilang bahwa ia tidak punya gaun, maka beginilah penampilannya. Sangat jauh dengan pakaian yang biasanya dipakai ke kondangan.

“Dari sekian banyak orang di kampung ini, kenapa kamu lebih milih ke rumahku?” Tanya Diomira.

“Ya… karena aku berpikir pasti kamu lagi rebahan di kamar. Jadi, lebih baik aku gangguin kamu,” jawab Reiki.

- Iklan -

“Tuh ‘kan! Pasti ini cuma akal-akalanmu doang ‘kan?”

“Ya ampun, Di. Ini beneran. Coba lihat, balai desanya terkesan sepi banget walaupun tampilannya mewah ‘kan?”

Diomira menatap balas desa yang gemerlap dari kejauhan. Benar. Seharusnya dari kejauhkan, ia bisa melihat keramaian orang-orang yang sedang berpesta dan musik khas pernikahan. Namun Diomira hanya bisa melihat balai desa yang sepi dan terlihat sunyi.

Tampaknya ada keanehan. Diomira berlari menuju balai desa dengan Reiki yang mengikutinya. Sampai di depan pintu balai desa, barulah Diomira merasakan hawa yang tidak enak. Memang benar. Orang-orang di sana seperti linglung.

Mereka masih bergerak, namun tatapannya kosong. Diomira mengedarkan pandangannya dan menemukan keluarganya yang kondisinya sama dengan tamu lainnya.

“Kak! Kakak kenapa?” Diomira menggoyang-goyangkan tubuh kakaknya. Ia menggaruk kupingnya yang tidak gatal, bingung dengan situasi yang terjadi. “Gimana ini bisa terjadi?” Tanyanya kepada Reiki.

Reiki mengangkat bahunya. “Aku enggak di sini dalam beberapa menit karena aku harus mengganti jasku yang ketumpahan jus jeruk. Jadi, aku ke rumah buat cari jas pengganti. Setelah aku kembali, mereka sudah seperti ini. Bahkan kakakku dan istrinya jadi seperti itu juga,” jelas Reiki seraya menunjuk kakaknya yang berada di pelaminan.

“Balai desa ini angker? Apa Ayahmu enggak mendoakan tempat ini supaya bebas dari hantu?” Tanya Diomira nyeleneh.

“Apa sih? Balai desa selalu ramai. Kalau pun ada, hantu itu enggak akan merasuki tamu-tamu ini di saat mereka sedang berpesta.”

“Ya, siapa yang tahu. Hantu ‘kan suka cari perhatian. Mereka bisa berbuat apa saja.” Diomira berucap seolah ia pernah melihat hantu. Padahal tidak pernah dan tidak akan pernah. “Oke oke, kita tidak bisa membiarkan mereka seperti ini. Ayo, kita cari bantuan orang lain saja.”

Reiki ditarik Diomira dengan paksa. Mereka keluar dari balai desa dan mengedarkan pandangan untuk mencari siapa pun yang bisa membantu mereka. Tapi keadaan kampung sangat sepi. Tampaknya semua orang memang datang ke balai desa dan menjadi orang linglung.

“Eh, Ki, itu ada Bang Hygo. Minta tolong dia aja.” Diomira menarik kembali tangan Reiki. Lagi-lagi dengan paksaan.

“Bang Hygo! Kita boleh minta tolong?” Setelah mendekati seorang laki-laki berkemeja putih, Diomira langsung bertanya.

“Ah, sorry. Abang lagi buru-buru.”

Diomira mendesah pelan. Oke, tidak apa-apa. Masih ada orang lain yang bisa dimintai tolong. Setelah berpamitan, mereka berdua kembali menyusuri jalan kampung yang sepi. Beruntung, setelah berbelok di sebuah gang, dua wanita paruh baya berjalan berlawanan. Dua wanita itu membawa tas besar.

“Bibi! Mau kemana?” Kali ini Reiki yang bertanya. Tentu saja. Dua wanita itu adalah perias di pernikahan kakaknya. Bahkan ia sempat bersiteru dengan mereka berdua perihal make up.

“Ya, ke balai desa, Den. Kalian sudah ke sana ‘kan? Sudah makan?” Salah satu wanita itu bertanya, namun dua remaja itu tidak menjawab.

“Oooh… kalian habis mau makan mau kencan? Ya udah, silakan dilanjut jalan- jalannya.” Wanita yang membawa tas besar menggoda Diomira dan Reiki.

“Engg…,” Diomira bergumam ingin mengatakan sesuatu. “Gini, Bi. Di balai desa ada sedikit masalah, jadi, kalian jangan ke sana dulu,” ucap Diomira mencova meyakinkan. Alih- alih membantu, dua wanita ini pasti akan membuat heboh.

“Lho, kenapa enggak boleh? Bibi saja mau ke sana karena mau benerin make up-nya Den Harvi sama Neng Natha,” ucap bibi itu. “Oh! Apa bajunya Neng Natha sobek? Tadi dia bilang pengen ganti baju. Waduh, gawat dong. Ayo, Sum, kita ke sana.”

“Tapi, Bi–”

- Iklan -

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU