Sonorous

“Jadi, kita harus bernyanyi agar menyadarkan mereka?” Hygo mengangguk.

“A-ahaha… sepertinya drama favoritku sudah tayang. Aku harus pulang.”

“Enggak boleh! Bernyanyilah denganku.” Reiki menarik tangan Diomira dengan cepat. Ia ingin segera mengakhiri malam ini dengan indah. Sementara itu Hygo masih berdiri di depan pintu, tersenyum manis melihat dua remaja yang berseteru itu.

- Iklan -

Reiki dan Diomira menaiki panggung di sebelah pelaminan. Ada beberapa penyanyi, namun mereka juga linglung akibat glass bead milik Hygo yang menyerap energi mereka. Reiki memberikan microphone kepada Diomira dan Diomira menerimanya dengan ragu-ragu.

Semesta bicara tanpa bersuara. Semesta ia kadang buta aksara. Sepi itu indah, percayalah.

Membisu itu anugerah.

- Iklan -

Reiki memulai lagu dengan suaranya yang rendah. Entah karena apa ia semangat sekali saat Hygo berkata mereka mereka harus bernyanyi.

Seperti hadirmu di kala gempa. Jujur dan tanpa sandiwara.

Teduhnya seperti hujan di mimpi. Berdua kita berlari.

- Iklan -

Diomira berdecak, kesal saat Reiki tidak memberi tahu judul lagu yang akan dinyanyikan. Beruntung ia tahu lagunya walau sedikit lupa liriknya.

Semesta bergulir tak kenal aral.

Seperti langkah-langkah menuju kaki langit. Seperti genangan akankah bertahan.

Atau perlahan menjadi lautan?

Seperti hadirmu di kala gempa. Jujur dan tanpa bersandiwara. Teduhnya seperti hujan di mimpi. Berdua kita berlari.

Diomira melanjutkan lagu. Perlahan ia meresapi setiap bait lagunya. Dan tanpa mereka sadari, orang-orang di balai desa ini mulai sadar dari linglungnya. Ada beberapa orang yang terkejut melihat Reiki dan Diomira bernyanyi di atas panggung, seperti Ibu dan Kakak Diomira.

“Anak itu. Bagaimana bisa dia datang ke sini menggunakan baju yang seperti itu?!” Ucap Ibu Diomira gregetan.

“Sudahlah, Bu. Ini hal yang langka bisa melihat Diomira bernyanyi di depan umum.

Apalagi bersama Reiki,” belas Kakak Diomira.

Seperti hadirmu di kala gempa. Jujur dan tanpa bersandiwara. Teduhnya seperti hujan di mimpi. Berdua kita berlari.

Nyanyian mereka telah selesai. Tepuk tangan terdengar sangat riuh begitu Diomira dan Reiki turun dari panggung. Tangan Diomira menjadi dingin. Jiwa introvert-nya meraung- raung. Tadinya dia tidak gugup, namun setelah orang-orang ini sadar, ia menjadi malu ditatap oleh banyak orang.

“Suaramu bagus juga,” sahut Reiki.

Dan reaksi Diomira? Jangan berharap berlebihan. Gadis itu hanya berdecih. Lalu dia meninggalkan Reiki bak pajangan dan menemukai ibu dan kakaknya.

“Dio! Kok pakai baju kayak gini, sih? Ya ampun, malu-maluin aja.” Begitulah sambutan dari ibu untuk Diomira.

“Tadi buru-buru ke sini, Bu.”

“Buru-buru? Reiki jemput kamu?” Tanya kakak penasaran.

Diomira tidak menjawab karena bingung menjawabnya. Tidak mungkin ia menjelaskan semua kejadian malam ini kepada mereka. Pasti dirinya akan dicap gila atau sedang berkhayal. Jadi, Diomira hanya mengangkat bahunya sebagai jawaban. Matanya fokus ke depan, menatap penyanyi yang siap menyanyikan lagu spesial di pernikahan Harvi.

“Kak, pasti berat ‘kan?”

Kakak perempuan itu menoleh. Dia menggeleng. “Enggak. Semuanya pasti berubah seiring berjalannya waktu. Lagi pula, kakak masih punya Jungkook.”

Diomira mendatarkan wajahnya. Bagaimana bisa kakaknya itu berbohong sambil menyebutkan idol Korea favoritnya? Ah, hidup ini memang penuh dengan kebohongan.

“Oh? Itu Reiki.”

- Iklan -

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU