Requiem kepada Istri Seorang Nabi: Sebuah Antologi

Singkatnya, seorang suami yang sempurna. Selama bertahun-tahun, wanita itu menghidupi hari-hari yang bahagia.

Tapi Ibu bilang, istri nabi hidupnya harus susah.

Maka, di umurnya yang ke-51, kulit sang nabi mengeluarkan nanah yang baunya menyengat. Beliau dikucilkan oleh seluruh negeri karena dituduh membawa penyakit menular.

- Iklan -

Keesokan harinya, atap rumah sang nabi runtuh dan menimpa anak mereka hingga semuanya tewas di tempat. Keesokan harinya lagi, badai dan hama turun secara bersamaan untuk menggerogoti seluruh ternak dan kebun yang dimiliki oleh sang nabi dan istrinya.

Ibu bilang, Tuhan tidak pernah tanggung-tanggung kalau memberi ujian.

Penyakit sang nabi semakin menjadi-jadi. Dia tidak bisa bergerak dan hanya tergeletak di atas kasurnya.

- Iklan -

Maka, istrinyalah yang sibuk bekerja setengah mati. Dia yang mencari nafkah dan mencari makan, mencuci dan membersihkan rumah, bahkan mengangkat sang nabi untuk buang air.

Di hari kesembuhannya, sang nabi dinobatkan menjadi orang paling penyabar di dunia.

Aku bertanya, tapi bukankah sang nabi cuma tidur-tiduran saja dengan penyakitnya? Bukankah istrinya yang membanting tulang? Kenapa bukan istri sang nabi saja yang menjadi nabi?

- Iklan -

Ibu bilang perempuan tidak boleh menjadi nabi.

***

Tuhan adalah seorang perempuan. Tuhan punya hidung yang sedikit menggembung dan rambut yang bergelombang. Tuhan jarang tersenyum, tapi ketika Dia tersenyum, wajah-Nya manis sekali.

Tuhan suka duduk menyendiri di lantai beranda pada malam-malam cerah yang membekukan.

Tuhan selalu bilang kepadaku untuk menghindari rokok, tapi kadang aku melihat tubuh-Nya dikabuli kabut putih yang entah asap atau sebagian nyawanya yang menguap. Tuhan sangat suka minum teh tawar hangat.

Ibu bilang Tuhan bukan seorang laki-laki maupun perempuan. Tapi, kalau aku disuruh membayangkan wajah Tuhan, aku akan membayangkan wajah Ibu.

Tuhan punya ekor mata yang selalu terlihat sedikit berduka.

Ibu sering memboncengku sepulang sekolah menuju sebuah taman yang penuh dengan baris-baris batu pahatan.

Kadang-kadang aku diajak Ibu masuk dan aku akan melompat-lompat pada puncak nisan serta belajar mengeja nama dan tanggal yang diukir di permukaannya, sedangkan Ibu akan terdiam lama di samping sebuah pusara dengan nama yang sepertinya sering aku dengar.

- Iklan -

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU