Requiem kepada Istri Seorang Nabi: Sebuah Antologi

Di atas sofa, aku melihat Ibu telentang dengan tangan bersedekap sambil memegang sepucuk foto laki-laki yang mukanya kadang-kadang kulihat bertebaran di rumah.

Mulut Ibu terkatup rapat, begitu juga dengan matanya. Ibu terlihat tenang sekali, seperti tidak butuh bangun lagi.

Aku berjalan mengendap-endap agar tidak mengganggu tidurnya yang jarang. Ketika berusaha sepelan mungkin membuka pintu kamar mandi, Ibu memanggilku.

- Iklan -

“Nanti lampunya jangan lupa dimatiin, ya. Biar gak boros listrik.”

Aku sedikit kaget dan segera menengok. Ibu masih pada posisi telentang yang sama. Tapi foto laki-laki itu sudah dibalik. Sekarang dia menghadap jantung Ibu.

Ibu bilang Tuhan tidak pernah tidur.

- Iklan -

***

Seorang nabi meninggalkan istrinya yang kedua dan bayinya yang pertama pada sebuah padang tandus. Dia pergi untuk tinggal bersama istri pertamanya yang cemburu karena sang nabi berhasil memiliki keturunan dari istri kedua.

Tapi, sang istri kedua tidak mengerti kenapa dia dan anaknya harus ditinggalkan pada tempat yang begitu kejam. Ketika dia bertanya, nabi hanya menjawab singkat, atas izin Tuhan. Lalu dia pergi tanpa pernah menengok ke belakang.

- Iklan -

Maka, tinggallah seorang ibu dan bayinya pada hamparan yang hanya diisi oleh gumuk pasir dan pegunungan.

Karena gersangnya udara, sang bayi jadi kehausan dan mulai menangis. Ibunya kepanikan karena dia tahu di tempat itu tidak ada air sama sekali. Dia menengok ke setiap rekahan,

berharap mendapatkan segenggam tanah basah untuk diperah. Tapi daratan itu begitu kering hingga besi pun berubah merah dipanggang matahari.

Setelah memastikan bahwa tidak ada barang satu tetes air pada bebatuan di sekitarnya, dia mulai memperhatikan sebuah bukit yang menyembul rapuh di kejauhan.

Dia memutuskan untuk memeriksa bukit itu dengan harapan menemukan setidaknya segenggam air untuk anaknya.

Dia meninggalkan sang bayi pada sebuah celah bebatuan yang teduh dan mulai berlari kecil menerjang matahari sambil hanya dipayungi kekeraskepalaan seorang ibu.

Tapi istri nabi hidupnya harus susah. Maka, jelas tidak ada air di bukit itu. Sang ibu, dengan kekecewaan, kembali ke bukit pertama tempat anaknya merengek sendirian.

Sesampainya di sana, dia mulai menggali lagi. Barangkali ada satu petak bebatuan yang dia lewatkan. Sia-sia. Yang kembali dia temukan hanya pasir dan jemarinya yang melepuh.

Sang ibu menoleh kembali ke arah bukit satunya, lalu dia berlari lagi ke sana untuk lagi-lagi menemukan tanah yang kering. Kemudian, dia menoleh kembali ke arah bukit sebelumnya dan mulai berlari lagi.

Dikisahkan bahwa sang ibu melakukan perjalanan bolak-balik sebanyak tujuh kali pada kedua bukit. Mungkin pada perjalanan keempat, dia sebenarnya sudah lupa apa yang dia cari.

Yang dia ketahui hanya dia harus berlari. Kakinya digerakkan oleh insting dan izin Tuhan. Kegelisahannya berubah menjadi semacam ibadah.

Pada perjalanannya yang ketujuh, sang ibu berhenti dengan penuh takzim di hadapan anaknya. Sela-sela jari kaki bayi itu mengeluarkan air yang melimpah. Dia meruah dan merekah.

Air menggumpal semakin banyak sehingga sang ibu dan anaknya tidak pernah lagi kehausan.

- Iklan -

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU