Requiem kepada Istri Seorang Nabi: Sebuah Antologi

Pada hari-hari lain, Ibu menyuruhku menunggu di motor. Jika aku disuruh menunggu, mata Ibu berubah biru seperti laut yang sering di tunjukannya pada buku-buku pengantar tidurku.

Ibu bilang, buku-buku itu pembelian Ayah. Ibu dan Ayah keduanya senang membaca buku. Saking banyaknya buku, rumahku aromanya seperti angin-angin kibasan sampul baru.

Aku sendiri punya tiga rak khusus untuk cerita pengantar tidur dan dua rak lainnya untuk buku-buku pelajaran dan ilmu pengetahuan alam. Semuanya dipersiapkan Ayah ketika aku masih tenggelam dalam perut Ibu.

- Iklan -

Selain tentang kecintaannya kepada buku, Ibu jarang bercerita tentang Ayah. Maka, aku sangat sedikit mengenal dirinya. Aku pun tidak terlalu tertarik untuk banyak tahu.

Cuma satu kali aku sempat bertanya tentang Ayah kepada Ibu. Waktu itu ibu guru memberikan soal tentang siapa anggota keluarga yang bertugas mencari nafkah. Jawabanku salah.

Jawaban Ibu cukup singkat: Ayah adalah seorang dokter. Dokter adalah orang pintar yang bekerja di rumah sakit. Tugas mereka adalah membuat keajaiban. Ayah juga membuat keajaiban, khususnya untuk hidup Ibu.

- Iklan -

Tapi, keajaiban itu ada harganya. Karena dokter hidup bersama dengan orang-orang sakit, beberapa dokter yang tidak beruntung akan ikut sakit.

Mata Ibu tenggelam biru. Aku jadi teringat pusara dengan nama yang tak asing tempat Ibu senang berdiam diri. Kami sedang dalam perjalanan ke sana waktu itu.

Sepulangnya dari pemakaman, Ibu pasti terlihat kelelahan. Sebenarnya, Ibu selalu terlihat kelelahan. Matanya selalu redup. Tapi aku suka mata itu karena dia tidak menyilaukan. Itu adalah salah satu sifat Ibu yang tidak dimiliki Tuhan. Ibu sangat

- Iklan -

Walaupun begitu, aku tidak pernah melihat Ibu tidur bahkan pada puncak malam sekalipun. Setelah Ibu membawakan cerita-ceritanya kepadaku sambil duduk di tepi ranjang, Ibu akan melanjutkan hidup di depan televisi atau membaca buku sambil minum gelas demi gelas teh tawar hangat.

Atau paling sering, Ibu akan mengurung diri dalam bilik kecil di bawah tangga yang dia sulap menjadi ruang kerja. Aku tahu Ibu tidak tidur di sana karena Ibu mengetik dengan sangat keras.



Aku sering terbangun oleh suara lompatan tombol yang seperti ranting-ranting patah. Aku juga tahu Ibu tidak tidur karena hasil ketikannya yang mungkin ratusan lembar itu akan dia bawa saat mengantarku ke sekolah.

Satu hari aku bertanya kenapa hasil ketikannya dia bawa-bawa. Ibu bilang, itu untuk bukti kalau jawabanku pada soal guru waktu itu tidak salah. Seorang ibu juga bisa mencari nafkah.

Puluhan lembar tulisan Ibu yang lain dia simpan pada sela-sela buku cerita milikku. Kebanyakan adalah tentang kisah para istri nabi yang makin lama makin sering diceritakan Ibu. Jika Ibu sedang bercerita tentang kisah-kisah itu, mata Ibu berubah biru.

Satu malam, kukira aku berhasil memergoki Ibu tidur. Aku terbangun karena tiba-tiba butuh pergi ke kamar mandi.

- Iklan -

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU